Satu saat ada yang bercerita, bahwa kebutaan Kiai Wahab bermula dari kacamata hadiah dari lawan politiknya yang telah ditaburi racun. Lawan politiknya tidak suka karena kedekatan Kiai Wahab dengan Soekarno. Sekilas, melihat sepak terjang Kiai Wahab di dunia politik, cerita itu sepertinya logis dan bisa dinalar.
Namun jika mencermati sosok Kiai Wahab yang penuh keakraban dengan para politisi baik dari nasionalis, Islam dan bahkan kelompok kiri serta ketulusan para pejuang bangsa yang saat itu memegang kendali perpolitikan Indonesia, ditambah dengan ilmu serba bisa dan masyhur akan kesaktiannya, cerita tadi ditemukan keganjilan. Keganjilan tersebut semakin diperjelas dengan kisah di bawah ini.
Berawal sekitar tahun 1951 ketika beliau melakukan perjalanan naik kereta api dari Jombang ke Jakarta. Di masa itu koper yang menjadi barang bawaan penumpang berukuran besar, berat dan terbuat dari bahan keras. Seperti biasa, beliau selalu membawa kopernya sendiri dan meletakkannya di rak atas tempat barang bawaan yang tersedia di kereta, persis di atas tempat duduk.
Selama perjalanan tidak ada hal yang meresahkan, semua berlalu seperti biasanya. Saat kereta berhenti di stasiun Gambir, beliau beranjak dari tempat duduknya dan bersiap mengambil koper. Musibah itupun terjadi, ketika Kiai Wahab meraih koper untuk diturunkan, mendadak kereta bergerak, entah sebab mengerem atau yang lainnya. Goncangan gerak kereta yang mendadak meski hanya sedetik menyebabkan koper yang dipegang Kiai Wahab jatuh dan mengenai pelipis sebelah kanan. Dengan cekatan beliau meyelamatkan koper agar tidak mengenai orang di sekitarnya. Peristiwa itupun tidak menyebabkan beliau berkeluh kesakitan.
Perjalanan tetap berlanjut sesuai rencana dan tujuan. Selang beberapa hari setelah semua urusan selesai, Kiai Wahab mulai merasakan kejanggalan. Ada rasa pusing dan berkunang di dalam penglihatannya. Seiring seringnya beliau memegang kepala karena pusing yang dialami, Mahfudhoh, putri beliau yang saat itu sekolah dan mondok di Yogyakarta menanyakan perihal yang terjadi. Setelah mendapat cerita lengkap asbabul wurud musibah yang terjadi, Mahfudhoh meminta abahnya untuk periksa.
"Saat itu abah hanya berkenan periksa ke dokter Yap Jogja, saya yang mengantarkan, karena saya sedang sekolah di Jogja" terang Bunyai Mahfudhoh. Kisah berobat di Yogyakarta ini juga diafirmasi oleh putri Kiai Wahab yang lain yakni Nyai Mu'tamaroh yang kami wawancarai di rumah beliau.
"Dokter Yap saat itu hanya mengatakan sakit yang dialami Kiai Wahab akan berdampak jangka panjang, nanti 10 tahun lagi coba periksa lagi, sekarang istirahat dulu. Ketika itu abah istirahat di rumah Pak Tolhah" lanjut beliau.
Sejalan waktu bergulir, peristiwa pergolakan politik terus berkembang menuntut Kiai Wahab turun gunung. Tanpa menghiraukan sakit yang diderita, Kiai Wahab bergerak malang melintang menjawab tuntutan jaman dan panggilan umat.
Sekitar akhir tahun 1962 musibah terulang lagi, tiba-tiba penglihatan Kiai Wahab berubah drastis, prediksi dokter Yap seakan menjadi kenyataan. Selanjutnya di bawa ke rumah sakit dan hendak dioperasi. Sebelum dioperasi alis mata beliau dipotong. Tahu alis dipotong, kata Nyai Mu'tamaroh, Kiai Wahab turun dari ranjang dan minta pulang.
Hari berganti hari, Kiai Wahab mengalami kebutaan. Hasil pemeriksaan dokter tegas menyatakan penglihatan kiai Wahab tidak bisa dipulihkan, koper besar yang dulu jatuh menimpa beliau rupanya tepat mengenai saraf dan baru berdampak total kali ini.
"Wes Fudh, awakmu nda' usah mondok maneh, mulio kancanono abah" (Sudah Fudh, kamu tidak usah mondok lagi, pulang saja menemani saya." Bunyai Mahfudhoh menjelaskan pesan Kiai Wahab.
Sejak Kiai Wahab mengalami kebutaan, kemanapun beliau pergi pendamping utamanya adalah putri beliau, Mahfudhoh.
Itulah kisah penyebab kebutaan Mbah Wahab dari para keturunannya. Saat beliau-beliau ditanya tentang penyebab kebutaan karena kacamatanya ditaburi racun, serempak semua menolaknya. Bu Nyai Mu'tamaroh nampak heran dan kaget, lalu beliau bilang, "Sopo sing crito iku?" (Siapa yang cerita itu?). Adapun Nyai Fudh menyangkal, bahkan bertanya balik kalau pernah diwawancarai tentang cerita racun itu, beliau meminta mana rekamannya, lalu beliau memungkasi, "Nggak.. nggak tau ngomong ngono aku!" (Tidak, saya tidak pernah bilang begitu). Kiai Hasib bilang, "Ndaaaaak" (bukan atau salah kisah racun itu). Terakhir, Kiai Roqib menyangkal, "Kliru iku" (salah kisah diracun itu).
Ditulis oleh: Gus Heru dan Gus Rofiq
--------
sumber cerita;
Nyai Hj. Mahfudhoh Wahab, wawancara 16 0ktober 2019
Nyai Hj. Mu'tamaroh, Wahab, wawancara 18 Oktober 2019
KH. M. Hasib Wahab, wawancara 16 Oktober 2019
KH. M.Roqib Wahab, wawancara 16 Oktober 2019