foto: Dari kiri Jend. Nasution, KH. A. Wahab Chasbullah, KH. Bisri Syansuri
Hizbut Tahrir dan para pengikutnya sangat getol menolak nasionalisme karena dianggap sebagai penghalang dalam perjuangan khilafah. Baginya, nasionalisme adalah sarana Barat untuk melakukan devide et impera. Nasionalisme menurutnya termasuk asabiyyah yang bertentangan dengan hukum Islam. Lebih lanjut mereka tegaskan, Al-Quran dan al-Sunnah mewajibkan umat Islam memerangi nasionalisme yang dianggap keji ini. Siapa yang menyerukan nasionalisme, berarti telah melakukan dosa teramat besar dan kemungkaran yang nyata. Karena menurutnya, nasionalisme inilah umat Islam tercabik-cabik dalam batas bangsa-bangsa. Padahal seharusnya mereka hidup di bawah satu kepemimpinan tunggal, yakni khilafah.
Hal yang perlu ditanggapi dari statemen keras dan membabi buta di atas; pertama, memaknai persatuan umat dengan ketunggalan sistem politik adalah naif. Sudah saya buktikan dalam disertasi, bahwa secara historis kesatuan politik hanya terjadi sejak periode al-Khulafa al-Rashidun hingga awal era Abbasiyah (masa pemerintahan Abu Jafar al-Mansur, atau sejak tahun 632 M hingga tahun 775 M). Saat itu terjadi kesatuan khilafah, lebih tepatnya kesatuan kepemimpinan dunia muslim.
Kedua, kalau nasionalisme dan turunannya seperti cinta golongan, kelompok dan komunitas dianggap bagian dari asabiyyah, namun kelompok HTI ini pada kesempatan lain mengatakan bahwa mengajak kepada kelompok Islam tertentu (semisal masuk HTI, pen.) tidak dianggap sebagai bagian dari asabiyyah, asalkan pembentukan kelompok tersebut bukan merupakan tujuan, tapi sekedar sarana untuk menyeru Islam, atau untuk beramar maruf nahi munkar. Selanjutnya apabila orang yang menyeru nasionalisme juga mengatakan bahwa gerakan nasionalisme yang dikumandangkan sekedar sarana untuk beramar maruf nahi munkar, tentu seharusnya Hizbut Tahrir tidak menganggap sebagai bentuk dari asabiyyah.
Ketiga dan yang terpenting, Kiai Wahab Chasbullah telah mencetuskan dalam lagu “wajib” bagi warga NU yakni “Ya lal Wathan” yang disitu dijelaskan bahwa mencintai tanah air adalah manifestasi dari keimanan (hubbul wathan minal iman). Jargon Kiai Wahab Chasbullah ini berjalin kelindan dengan hadis berikut ini. Sahabat bertanya kepada Rasulullah,
يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَمِنْ الْعَصَبِيَّةِ أَنْ يُحِبَّ الرَّجُلُ قَوْمَه؟ قال: لا
وَلَكِنْ مِنْ الْعَصَبِيَّةِ أَنْ يُعِينَ الرَّجُلُ قَوْمَهُ عَلَى الظُّلْمِ
“Wahai Rasulallah, apakah termasuk ‘asobiyyah (fanatisme jahiliyah yang dilarang) jika seseorang mencintai kaumnya?” Nabi menjawab, ?“Tidak”? ‘asobiyyah adalah jika seseorang menolong kaumnya berbuat kezaliman.”
Hadis ini dengan tegas menjelaskan pembatas dan pembeda asobiyyah terletak pada ada atau tidaknya kezaliman. Seruan hubbul wathon minal iman tentu bukan dalam kerangka melakukan kezaliman, bahkan pada saat penjajajahan berfungsi untuk menghancurkan kezaliman. Gagasan brilian Kiai Wahab menjadi senjata ampuh perlawanan terhadap penjajah yang notabene melakukan penindasan dan kezaliman serta menjadikan perekat sesama penduduk bangsa.
oleh : Ainur Rofiq Al Amin