Beliau dikenal low profile, humoris, senang bergaul, bahkan tidak ada sekat dengan siapapun. Sederhana dari segala sudut, gaya bicaranya yang plas plos apa adanya terkadang terkesan vulgar tanpa tedeng aling-aling. Gus Chis sapaan akrabnya, putra Kiai Abdur Rohim Chasbulloh. Punya nama lengkap Mohammad Chisnulloh lahir di Jombang 12 November 1947, masa muda beliau gemar sepakbola apalagi posisi kipper. Ketekunannya pada bidang ilmu sosial mengantarkan beliau sebagai guru IPS dan Sejarah dibeberapa unit pendidikan pondok Tambakberas dan Denanyar.
Takkan pernah terlintas dibenak teman dan sahabatnya, ternyata dibalik sosok beliau yang apa adanya tersimpan misteri yang tidak banyak diketahui orang. Gus Chis nyatanya mempunyai kegiatan Dakwah yang tidak mudah ditiru bahkan dipraktekkan sembarang orang. Hanya mereka yang punya ilmu, niat dan nyali lebih, yang mampu meniru model dakwah beliau. Mungkin karena sosoknya yang apa adanya itulah sehingga apa yang disampaikan bisa diterima oleh siapapun tanpa ada ketersinggungan, apalagi merasa tersakiti. Dikalangan “khusus”pun beliau bisa diterima tanpa batas kecanggungan, atau entah karena “kelebihan” yang tersembunyi yang beliau miliki. Wallahua’lam
Gaya dakwah Gus Chis yang blusukan nyaris tak terdengar oleh kerabat maupun sahabat. Dulu, ketika hari mulai beranjak malam, sambil mengayuh sepeda ontho (sepeda ontel tua) yang senantiasa menemani, dan tak ketinggalan diboncengan selalu terselip kain putih terbungkus rapi, yang belakangan baru diketahui ternyata mukenah sholat, beliau sering menyambangi para pekerja lokalisasi diwilayah utara desa Tambakberas. Lebih tepatnya sebuah desa diwilayah kecamatan Tembelang.
Sesampainya ditujuan, beliau seperti biasanya, sembari ngopi obrolan dengan para pedagang makanan dimulai, sambil duduk santai bincang ceritapun mengalir cair, sesekali beliau tersenyum lebar. Tak jarang diselipkannya ajaran-ajaran budi luhur dengan gayanya yang khas membuat para pedagang ganti tersenyum. Tidak ada yang marah apalagi celotehan sumpah serapah. Tidak hanya para pedagang yang tersenyum, para wanita penjaja yang habis melayani “tamu” yang sedari tadi ikut nimbrung tidak merasa tersinggung, para bapak juga tidak ada masalah, terkadang godaan satu dua kali dialami Gus Chis. Pernah satu ketika beliau dirayu dan ditawari wak Wiro sang murcikari untuk mencicipi ”anak asuh”nya, beliau hanya tertawa.
Obrolan yang terselipkan dakwah masih berlanjut dan terus belanjut seiring berganti tamu datang dan pergi. Ketika waktu mulai beranjak tengah malam sementara beliau hendak menyudahi obrolannya, beliau berdiri menghampiri para wanita “penjaja” yang belum pulang sambil memberikan bungkusan mukenah. “mbak iki rukuh, nek spean pingin sholat yo spean gawe, nek nggak yo spean simpen” pesan beliau lirih namun penuh makna. Dalam semalam, terkadang beliau membagikan hingga 5 mukenah, sementara yang masih berupa kain beliau jahitkan di mbok kaunah, penjahit yang rumahnya persis didepan lokasi mangkal para penjaja.
Beliau tak pernah jenuh terus berdakwah seperti itu, dan yang menakjubkan saat beliau masih seorang perjaka. Alhasil, seiring taqdir berlaku, satu waktu ditengah jalan, Gus Chis disapa perempuan yang tak dikenalnya sembari mendekat dan mengucap “matursuwun.. matursuwun sanget gus.. kulo sampun sholat, sampun leren..” pelan dan jelas terdengar. Dan Gus Chis pun tersenyum berucap “alhamdulillah...”
Alfatihah...
-- Diambil dari buku Sejarah Tambakberas
“ Menelisik sejarah, memetik uswah”
blog comments powered by Disqus