Gus Abdul Jabar Hubby
Dalam fitrahnya sebagai hamba Allah, termasuk kewajiban bagi setiap muslim dan muslimah adalah mencari ilmu Allah. Karena dengan ilmu itu seseorang akan mengetahui bagaimana cara melaksanakan tugas kehambaan yang baik dan benar. Namun demikian, tidaklah semua ilmu itu wajib dicari dan dipelajari. Ilmu yang fardlu ‘ain untuk dicari dan dipelajari hanya beberapa saja, yakni ilmu al-hal, ilmu yang berkaitan dengan kebutuhan seseorang sesuai kondisinya atau ilmu yang berkaitan dengan perintah-perintah atau larangan-larangan Allah sesuai kondisi orang tersebut, di antaranya mencakup ilmu yushohhih al ‘ibadah, ilmu yushohhih al ‘aqidah, dan ilmu yuzkiy al qolb. Selebihnya adalah fardlu kifayah. Dengan demikian, mencari ilmu adalah merupakan amal ibadah, karena mencari ilmu merupakan perintah Allah SWT.
Dalam khazanah pesantren, seorang thalib (pencari ilmu) tidak hanya sekedar mencari ilmu pengetahuan dan pengalaman, tapi lebih dari itu, yang dicari adalah kemanfaatan dan kebarokahan. Banyak kisah yang pernah kita dengar dan baca berulang-ulang tentang kiai-kiai besar, rata-rata beliau adalah para "pejuang" tangguh, bukan hanya dalam soal ketekunan belajar, banyaknya mutola’ah, tapi lebih dari itu, yakni totalitasnya dalam mengabdikan diri kepada guru dan orang-orang yang terkait dengannya. Kita teringat bagaimana kisah Mbah Hasyim saat diperintah oleh gurunya mencari cincin bunyai yang hilang di wc, tanpa ragu dan berkilah, beliau langsung menceburkan diri dan menyelam ke dalam septic tank, sampai akhirnya cincin tersebut ketemu dan diserahkan kepada gurunya.
Asas manfaat dan barokah inilah yang pada selanjutnya menjadi tonggak dasar bagi kesungguhan thalib dalam amaliahnya mencari ilmu yang berupa belajar dan mengaji. Tonggak dasar juga membutuhkan suatu pemenuhan aturan main yang telah ditetapkan, agar apa yang dilakukan tersebut tidak menjadi sia-sia. Keberhasilan seseorang mendapat anugerah ilmu nafi’' dan muntafa' bih paling tidak melibatkan tiga faktor yang sangat dominan.
Pertama, Fadhol (anugerah) dari Allah, karena memang ilmu itu diajar oleh-Nya “alladzi 'allama bil qolam 'allamal insaana maa lam ya'lam”. Untuk memperoleh fadhol, orang harus berdo'a dan atau dido'akan. Do'a itupun harus sungguh-sungguh dan disertai dengan kesungguhan. Tidak dipanjatkan dengan seenaknya hingga mengesankan tidak begitu butuh akan wushulnya do'a. Fadhol juga sangat beriringan dengan adab (etika/tatakrama), adab seorang tholib haruslah tercerminkan dalam sikap dan tingkah laku terhadap guru dan pribadi tholib.
Kedua, Sungguh-sungguh, (ngaji-muthola'ah). Sebuah maqolah yang sering disebut hadits menegaskan "Man tholaba syaian wajadda wajada, wa man qoroa al-baba wa lajja walaja". Siapa yang mencari sesuatu dan sungguh-sungguh, dia akan mendapatkan. Dan siapa mengetuk pintu dan dia teguh hati, maka dia masuk ke dalam (rumah). Secara jelas firman Allah "Walladzina jaahaduu fiinaa lanahdiyannahum subulanaa" juga mengisyaratkan hal tersebut.
Ketiga, Nyadong pertularan (tranformasi karakter/sikap) dari guru, "atthob'u saroq" tabiat atau watak itu mencuri. Kedekatan seseorang dengan orang lain mengakibatkan penularan (translasi) yang niscaya mengacu sunnatullah, dia yang lemah akan tertulari yang lebih kuat, dia yang penakut akan tertulari menjadi pemberani, seorang tholib juga demikian.
Seberapa besar ilmu nafi' dan muntafa'bih-nya yang diperoleh oleh tholib tergantung pada seberapa besar kadar ketiga faktor itu diupayakan. Bila diselami lebih dalam, maka ketiga faktor diatas akan bermuara pada satu kata Ta’dhim (rasa hormat, tunduk patuh, serah pasrah) terhadap guru. Guru ibarat dokter, bilamana murid tidak bisa ta’dzim dan taslim kepada guru, dia tidak akan berdampak baik pada murid, sama halnya dengan pasien, meskipun sang dokter memeriksanya dan memberikan resep. “Maa washola man washola illa bilhurmati wat ta'dhim, wa maa saqotho man saqotho illa bitarki alhurmati wat ta'dhim”.
Dengan demikian ketakdziman bagi seorang murid merupakan suatu bentuk tirakat (perjuangan menahan hawa nafsu) yang mutlak dilakukan untuk keberhasilan cita-citanya. ta'dhim dilakukannya dengan kesungguhan dan sepenuh hati. Tidak kemudian terperangkap kedalam bentuk yang sering kita dengar dengan sebutan mudahanah atau mujahalah belaka. Lamis dan menjilat, semu dan tak bermakna.
Wallahu a’lamu bisshowab.