Kiai Moh. Sholeh*
Dalam tradisi Jawa Mitoni artinya menyelenggarakan selametan saat usia kandungan menapak tujuh bulan. Tradisi Mitoni bisa dengan beragam cara atau ritual, misal; sedekah dengan mengundang tetangga kanan kiri untuk sekedar memohon doa semoga janin dalam kandungan kelak lahir lancar, selamat dan menjadi anak yang sholeh. Cara ini biasanya disertai membaca surat Yusuf atau surat Maryam.
Maka, melihat tatakelola penyelenggaraan mitoni yang dilakukan sebagian orang Jawa, khususnya kaum Nahdliyin, tentu tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan masih diranah fiqih, bahkan merupakan anjuran dalam islam. Hal ini merujuk pada pernyataan Qur'an surat al-A’raf 189:
فلما تغشاها حملت حملا خفيفا فمرت به فلما اثقلت دعوا الله ربهما لان اتيتنا صالحا لنكونن من الشاكرين.
Ayat ini secara implisit merupakan suri tauladan tindakan nabi Adam saat bunda Hawa mulai merasakan beban berat atas bayi yang di kandungnya dengan berupaya memohon kepada Allah untuk diberikan anak yang baik. Disamping itu, Nabi pun pernah mendoakan janinnya Ummi Sulaim dengan doa;
بارك الله لكما في ليلتكما
Semoga Alloh memberkati kalian berdua dimalam kalian.
Dalam pandangan ahli fiqih sebagaimana yang di uraikan dalam kitab Qolyubi, Syarah ar-Roudloh dan yang lainnya, dinyatakan; dengan cara apapun tindakan bersedekah pada waktu-waktu kritis dan penting seperti masa masa hamil sangat diutamakan.
Dari uraian diatas betapa pentingnya "pribumisasi Islam, bukan simbolisasi islam",
dan dengan konsep ini seseorang diharapkan tidak mudah membida'hkan orang lain. Tapi lagi lagi, ya harus alim dulu dong.
Sama seperti adat Mitoni, disebagian orang kita, masih banyak yang melestarikan prilaku Jawa yang penuh “kecerdasan filosofis dan kaya pesan”, namun hal itu terkadang dimaknai kelompok lain sebagai bentuk penyimpangan agama, bahkan tidak jarang dianggap sebagai ajaran atau budaya agama lain (non Islam). Klaim serampangan itu terkadang menciderai psikologi masyarakat yang mencoba “nguri nguri” kearifan lokal yang penuh pesan dan nilai-nilai kebaikan.
Diantara prilaku sebagian masyarakat yang menjadi perhatian penulis adalah meletakkan “KENDI” (tempat air minum yang terbuat dari tanah) diatas kuburan. al-Faqir (penulis,red) mencoba mengkompromikan kearifan lokal tersebut dengan pesan teks agama yang ramah. Tanpa berusaha mengambil sikap buruk sangka. Menurut hemat al-Faqir peletakan Kendi diatas kuburan adalah sebagai pesan bahasa, sebuah simbol bagi para peziarah, khususnya keluarga yang ditinggalkan, bahwa orang yang sudah meninggal penuh harap siraman doa dari orang yang masih hidup, mereka tidak butuh “kijing” (atap/kubah diatas kuburan) tapi yang mereka harapkan adalah tetesan do’a yang menyegarkan bagi mereka, sebagaimana yang di gambarkan Syekh Amin Kurdi dalam karya legendarisnya Tanwirul Qulub. Disamping itu, juga untuk memudahkan para peziarah yang punya niatan menyirami kuburan tersebut, karena alat sudah tersedia.
Dalam pandangan fiqih, menyiram kuburan dengan air hukumnya sunah sebagaimana yang dinyatakan al-Bajuri juz 1 halaman 257.
ويندب ان يرش القبر بماء والاولى ان يكون طاهرا باردا لأنه صلى الله عليه وسلم فعله بقبر ولده ابراهيم
“Dan disunnahkan menyiram kuburan dengan air, dan sebaiknya air tersebut suci dan dingin, karena hal itu pernah dilakukan Kanjeng Nabi pada kuburan putranya yaitu Sayyid Ibrohim”.
Dengan dasar-dasar pemikiran seperti ini, maka apa yang dilakukan sebagian masyarakat kita masih dalam kerangka fiqih, seperti harapan al-Faqir, bahwa; Santri Nusantara sebaiknya memahami dan menjiwai ke-nusantara-annya.
Semoga Tuhan senantiasa meridloi kita.
*penulis adalah guru PPBU, Syuriah PCNU Jombang, Pembina FBMPP
blog comments powered by Disqus