Oleh: Dra. Hj. Umdatul Khoirot
Anda masih ingat hadits di bawah ini?
حدثنا علي بن حكم الأنصاري , حدثنا أبو عوانة , عن رقبة , عن طلحة اليامي , عن سعيد بن جبير , قال : قال لي ابن عباس : هل تزوجت ؟ قلت : لا , قال : فتزوج , فإن خير هذه الأمة أكثرها نساء .
“Ali bin Hakam al-Anshari bercerita kepada kami, Abu ‘Awanah bercerita kepada kami, dari Raqabah, dari Thalhah al-Yami, dari Sa’id bin Jubair, dia berkata, “Ibnu Abbas bertanya kepadaku, “Apakah kamu sudah menikah?” Saya menjawab, “Tidak.” Dia berkata, “Menikahlah, karena sebaik-baik laki-laki umat ini adalah laki-laki yang paling banyak istrinya.”
Hadits tersebut diriwayatkan oleh imam al-Bukhari dalam buku Shahîh-nya[1] Semua umat Islam yang mengikuti aliran Ahli Sunnah wal Jama’ah sepakat, bahwa hadits-hadits yang ada dalam buku tersebut harus diterima dan bisa dijadikan rujukan hidup sebagai seorang muslim seutuhnya, terutama untuk menelurkan hukum fikih. Bahkan, buku tersebut, dalam hirarki buku-buku yang berisi hadits shahih, menenpati hirarki tertinggi, yang kemudian disusul oleh buku Shahîh karya imam Muslim.
Tapi ada yang aneh di sini. Dalam matarantai hadits (sanad) tersebut, imam al-Bukhari hanya menyebutkannya sampai pada Ibnu Abbas. Dia tidak menyebutkan matarantainya yang sambung sampai pada Rasulullah Saw, dimana beliau telah mengucapkan, melakukan, atau menetapkan sesuatu, sebagaimana hadits-hadits yang lain dalam bukunya itu, seperti;
حدثنا عبد العزيز بن عبد الله , حدثنا إبراهيم بن سعد , عن الزهري , عن سعيد بن المسيب , عن أبي هريرة رضي الله عنه , قال : سئل النبي صلى الله عليه وسلم : أي الأعمال أفضل ؟ قال :إيمان بالله ورسوله . قيل : ثم ماذا ؟ جهاد في سبيل الله . قيل : ثم ماذا ؟ قال :حج مبرور .
“Abdul Aziz bin Abdillah kami, Ibrahim bin Sa’ad bercerita kepada kami, dari az-Zuhri, dari Sa’id bin al-Musayyab, dari Abu Hurairah r.a., dia berkata, “Nabi Saw. Pernah ditanya, “Perbuatan-perbuatan apakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Ditanyakan, “Kemudian apa?” Beliau menjawab, “Jihad di jalan Allah.” Kemudian ditanyakan, “Kemudian apa?” Beliau menjawab, “Haji Mabrur.”[2]
Dalam tradisi ilmu hadits, sebuah hadits yang matarantainya hanya sampai pada Sahabat disebut hadits mauquf, bukan hadits shahih. Dengan kata lain, hadits yang pertama disebutkan diatas adalah hadits mauquf, karena matarantai periwayatannya hanya sampai pada Ibnu Abbas; tidak ada keterangan yang menyebutkan bahwa itu adalah ucapan Rasulullah Saw.
Fakta seperti itu pada gilirannya akan memunculkan pertanyaan problematis; bagaimana mungkin hadits yang statusnya mauquf, bisa ada dalam buku Shahîh karya imam al-Bukhari?
Pertanyaan di atas sangat perlu untuk dijawab karena menyangkut hal yang sangat prinsipil dalam keberislaman para pengikut aliran Ahli Sunnah walJama’ah.
Di hadapkan pada persoalan demikian, sejujurnya, kita bisa menampakkan dua pilihan sikap berbeda dan saling memunggungi. Pertama, kita membuat pernyataan baru terkait buku Shahîh tersebut, bahwa di dalamnya juga berisi hadits mauquf dan tidak melulu berisi hadits shahih. Tapi, tentunya, sikap ini secara otomatis akan memporak-porandakan konstruksi keberisalaman kita, sekaligus kita juga dituntut untuk merekonstruksinya. Kedua, kita lakukan pelacakan keberadaan hadits tersebut dalam buku-buku lain, sehingga dengan itu kita bisa mengetahui, mungkin, varian redaksi (matan) dan matarantainya, yang kemudian bisa menetapkan validitas (ke-shahih-an) hadits tersebut.
Tentunya, dari dua pilihan sikap di atas yang paling minim resiko dan lebih bertradisikan ilmu hadits adalah pilihan kedua. Inilah yang seyogyanya dilakukan pertama kali ketika menghadapi fakta seperti di atas, karena obyek yang dikaji adalah hadits yang telah membentuk sejarah keilmuan panjang dan berkontribusi banyak dalam keberislaman pengikut Sunni, terlepas seperti apa hasilnya nanti. Lantas, bagaiman acaranya?
Dari sekian banyak cabang ilmu hadits, ada satu ilmu yang bisa digunakan untuk melakukan hal itu. Ilmu yang saya maksudkan adalah ilmuTakhrij Hadits. Ia adalah ilmu yang membahas tentang dasar-dasar dan metode-metode yang memungkinkan seseorang untuk bisa mengetahui tampat hadits, varian matarantai, dan varian redakasi, yang ada dalam sumber-sumber asli, semi asli, dan yang tidak asli, sehingga bisa diketahui apakah hadits tersebut bisa diterima atau ditolak.[3]. Dengan demikian, maka tujuan ilmu ini adalah untuk mengetahui sumber hadits dan statusnya dari segi ditolak atau di terima.[4]
Diklat ilmu Takhrij Hadits Madrasah al-I'dadiyah Bahrul Ulum dibawah bimbingan ustadz Syafiuddin, Lc
Ada banyak manfaat yang bisa didapatkan seseorang yang mampu menguasai ilmu ini, di antaranya;
Dengan menimbang uraian di atas, maka Madrasah Aliyah al-I’dadiyyah Bahrul Ulum (MAI-BU) menginiasi program Diklat Ilmu Takhrij Hadits dibawah bimbingan Ustadz Syafiuddin,Lc. Alumni MAI yang berhasil menuntaskan pendidikannya di al-Azhar Caero Mesir dan sedang mengabdikan dirinya di MAI-BU, dengan harapan, kelak siswa mempunyai kemampuan menelaah dan terbiasa dengan metodologi Tajkhrij. Semoga bermanfaat.
[1] HR. imam al-Bukhari, 5059, Dar at-Ta’shil, Vol. I, Cet. I, 2012, Kairo, Hal. 9.Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathu al-Bâri, kitab, an-Nikâh, bab, Katsratu an-Nisâ’, nomor 5069, Darar-Risalah al-‘Alamiyah, Vol. XV, Cet. I, 2013, Damaskus, Hal, 226.
[2]HR. imam al-Bukhari, 1532, Dar at-Ta’shil, Vol. II, Cet. I, 2012, Kairo, Hal. 376.
[3] Muhammad Abu Laits Khair Abadi al-Qasimi, Takhrîju al-Hadîts; Nasy’atuhuwaManhajiyyatuhu, Cet. III, 2004, Hal. 11.
[4] Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi, ThuruqutakhrîjiHadîtsiRasulillahShallaAllâhu ‘AlaihiwaSallam, Dar al-I’tisham, Kairo, 1978, Hal. 11.
[5]Ibid, Hal. 11-12.