by, A. Beghtasy Muhyidin*
Kadang kala ada pemahaman isykal . Umumnya orang meyakini bahwa semakin banyak belajar, memori bertambah banyak. Sampai ada penyangkalan bahwa jika banyak memori yang terlupa, tanda dia masih belum faham. Lalu buat apa belajar dan menanam memori jika ujung-ujungnya adalah lupa?
Dulu, beberapa abad yang lalu, pada kesunyian malam, di gua sederhana tanpa bantal bersulam, Muhammmad SAW terguncang akan kedatangan Jibril sambil membawa oleh-oleh dari langit. “iqra’ kata Jibril, bukan kata uktub ataupun tadzakkar. Tapi, bacalah!. Untuk sebuah bangsa yang tidak bisa baca-tulis ini terasa aneh. Juga terasa tidak berguna. Namun, pengaruh dari kalimat perintah ini menembus melintasi berbagai peradaban dan mewarnainya dengan ilmu pengetahuan dan keindahan.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah berkata: “ilmu bagaikan hewan liar dan menulis adalah pengikatnya”. Seandainya saja semua keilmuan tidak ditulis dalam buku-buku ataupun kitab oleh para penulis, maka perjuangan Abu Hurairah dalam mencari hadits, petualangan hebat Ibnu Battutah, dan syair Abu Nawas hanya menjadi cerita dongeng dan aekedar kisah untuk menidurkan anak-anak kecil. Bukan untuk di baca, apalagi sosok pahlawan yang harus ditiru. Lalu, bukankah belajar tak lepas dari 2 komponen ini; baca dan tulis?
Ada yang hilang, atau memang sengaja dihilangkan? Sekarang belajar hanya menjadi barang komersial. Bukan guna mencetak generasi emas untuk masa depan. Belajar telah kehilngan ruhnya. Ruh untuk mendidik. Padahal orang besar dalam sejarah kebanyakan keluar darinya. lalu kemana semangat itu? Semangat baja untuk belajar. Bahkan gunung pun akan diratakan dengan tanah bila menghalangi dirinya untuk belajar.
Dulu, esensi dikedepankan tapi kini, formalitas menjadi acuan. Nilai, ijazah, gelar serta sederet lainnya jadi akhir cerita kebanyakan orang. Lalu hilang lah mahabbah dari belajar itu sendiri dan digantikan pemaksaaan. Berjam-jam harus memenuhi target yang ditentukan. Jika tidak terpenuhi maka dibilang bodoh. Padahal setiap orang berbeda dan punya keunikan masing-masing.
Monyet pandai memanjat, rajawali lihai terbang dan hiu lincah dalam berenang. Tapi semuanya bodoh dalam hal lain. Begitu pula manusia. Tak bisa segala hal. Namun, hanya bisa bagian tertentu saja. Kecuali untuk orang tertentu. Tertentu menguasai beberapa hal, kerena buku menjadi hobi, diskusi adalah obrolan dan renungannya menjadi pedoman bagi banyak orang. Mas D. Nawawy Sa’doellah pernah menulis dalam salah satu esainya “ maka tak usah berfikir tentang bolshevik, atau renaissance, kerena kita tak punya bedil dan meriam. Para santri harus diberi peluang untuk membuat revolusinya sendiri, sebuah revolusi wacana. Revolusi pemikiran. Lahap semua buku, diskusi dan menulislah. Sekali lagi revolusi. Revolusi yang menjadikan diri mereka terbebas dari ketakutan absurd, dan ucapan selamat tinggal dari keterkungkungan feodalistik yang menjebak. Kerena, seperti al-Ghazali, kita mesti memulai dengan keberanian untuk ‘menyalahkan’.
Belajar tidak perlu satu cara, tapi harus berbagai cara. Cara yang mendobrak kebiasaan dan pemikiran mereka. Cara yang menumbuhkan benih-benih cinta untuk membaca dan menulis. Bukan sekadar nilai di kertas kosong. Karena, belajar berarti sampai ruh keluar dari dirinya bukan sebatas selesai untuk duduk-duduk di kelas.
* Penulis adalah dzuriyah PPBU