KH. Mochammad Idris Djamaluddin menjelaskan perjalanan dan kisah teladan dari sosok yang disebut sebagai tasawwuf berjalan yakni Abah KH. Mochammad Djamaluddin Ahmad.
Hal itu ia sampaikan saat memberikan mauidhoh hasanah dalam peringatan 1000 hari KH. Mochammad Djamaluddin Ahmad di halaman Masjid Bumi Damai Al Muhibbin Bahrul Ulum, Selasa (19/11).
“Abah Jamal itu sulit untuk diceritakan secara lengkap,tapi juga mudah sekali dibaca pelajarannya. Karena Abah Jamal itu seperti buku yang terbuka,yang kehidupannya bisa dibaca,ditiru,serta diteladani.” Ungkapnya.
Beliau menceritakan bahwa ada beberapa fase dalam kehidupan Abah Jamal. Pertama fase ketika masih kecil, waktu itu mondok di Mbah Kiai Abu Amar sambil belajar di Sekolah Rakyat.
Fase berikutnya Mbah Kiai Jamal mondok di Tambakberas selama 6 Tahun, setelah itu melanjutkan mondoknya di Jawa Tengah. Selama di sana beliau tidak hanya mondok di Lasem saja, akan tetapi juga mengikuti beberapa pengajian kilatan seperti di Poncol dan Mranggen.
“Setelah itu fase berumah tangga, dalam fase ini beliau sementara ikut mertuanya. Sekitar tahun 1990 mulailah Abah Jamal membangun Masjid Muhibbin dan Tahun 1994 mulai mengasuh pengajian kitab Hikam.” Jelasnya.
Oleh karena itu, Kiai Jamal kecil sudah bertasawuf, karena ketika beliau masih kecil beliau sudah wira’i. Bahkan sampai guru nya sendiri seorang mursyid bernama KH. Sholahuddin Al-Ayyubi Bin KH. Abdul Djalil Mustaqim memuji Abah Jamal sebagai tasawwuf berjalan.
“Perlu diambil Pelajaran, bahwa Kiai Jamal itu dari latar belakang keluarga yang biasa-biasa saja, dan yang membuat seperti ini adalah himmah atau cita citanya yang tinggi.” Ungkap pria yang biasa disapa Gus Idris itu.
“Maka dari itu, jika kamu bukan dari latar belakang keluarga kiai, bukan dari latar belakang keluarga intelektual, atau hanya dari latar belakang masyarakat kebanyakan, maka jangan mempersempit rahmat Allah. Lihat Mbah Kiai Jamal itu siapa orang tuanya, kemudian menjadi kiai besar seperti sekarang itu semua karena himmah atau cita cita luhur dari beliau.” Pungkasnya.
Diketahui, bahwa acara ini tidak hanya diperingati oleh para santri yang ada di pondok saja, akan tetapi juga dilakukan serentak di berbagai daerah di Indonesia oleh para alumni yang terkumpul dalam jaringan Himpunan Keluarga Alumni Muhibbin (Hikam).