Salah satu pokok bahasan dalam hukum Islam (Fiqh) adalah tentang jual beli (bai’). Dalam kitab Fathul Qorib Al Mujib, karya Syech Muhammad Bin Qosim al Ghozi, bab jual beli disebut sebagai bagian dari bahasan fiqh muamalah atau bahasan dalam fiqh yang menguraikan tentang aturan main dalam kehidupan bermasyarakat menurut Islam.
Dalam kitab tersebut, jual beli diartikan secara bahasa sebagai membandingkan sesutau dengan sesuatu yang lain. Sedangkan menurut istilah, diartikan sebagai upaya memiliki harta benda dengan imbalan dan persetujuan yang bersifat syar’i (tidak mengandung riba), atau bisa juga diartikan memiliki manfaat (kegunaan) yang langgeng dan boleh dilakukan dengan nilai tukar.
Jual beli secara umum dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu:
(1) jual beli barang yang bisa disaksikan;
(2) jual beli sifat barang atau barang pesanan;
(3) jual beli barang yang tidak ada dan tidak bisa disaksikan.
Dari ketiga cara melakukan jual beli ini, cara yang pertama dan yang kedua diperbolehkan, dan cara jual beli yang ketiga tidak diperbolehkan.
Cara jual beli yang pertama, disyaratkan barang yang diperjualbelikan harus barang yang suci (bukan barang yang najis), bisa diambil benefitnya (bermanfaat), bisa dikuasakan dari penjual ke pembeli dengan menyerahkan barang yang diperjual belikan. Di dalam jual beli tersebut juga harus ada transaksi ijab kabul, misalnya penjual mengatakan saya menjual barang ini, kemudian pembeli menjawab saya membeli barang ini.
Jual beli yang kedua bisa juga disebut dengan akad salam. Jual beli ini dinyatakan boleh (sah) jika ditemukan sifat-sifat barang yang sudah disebutkan sebelumnya. Pembahasan lebih rinci terkait dengan jual beli ini dibahas dalam bab salam.
Sedangkan jual beli yang ketiga adalah jual beli yang dinyatakan tidak boleh dilakukan atau tidak sah. Karena dalam jual beli ini barang tidak ada dan juga sifat-sifat barang tidak bisa disebutkan. (ma)